Selasa, 09 Juni 2015

Beasiswa S2 Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas SD Tahun 2015



Ini kesempatan bagi para guru SD, kepala sekolah SD, dan Pengawas SD untuk melanjutkan pendidikan S2 dengan beasiswa. Direktorat P2TK, Ditjen Dikdas, Kemdikbud menyediakan dana bantuan langsung untuk peningkatan kualifikasi S2 bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas pada program/sekolah pascasarjana di sejumlah perguruan tinggi dalam negeri.

Bantuan yang diberikan meliputi biaya pendidikan, biaya mahasiswa, dan biaya penyelenggaraan program. Semua komponen biaya diterima langsung kepada penerima beasiswa. Komponen biaya mahasiswa meliputi biaya hidup, bantuan buku, dan penelitian. Sementara, komponen biaya pendidikan dan penyelenggaraan program, mahasiswa menyetor sendiri ke perguruan tinggi penyelenggara. Beasiswa tersebut diberikan selama 2 tahun (4 semester).

Penempatan peserta (mahasiswa) bantuan peningkatan kualifikasi S-2 untuk setiap bidang studi pada PTP tahun 2015 ditetapkan oleh tim yang terdiri dari unsur Direktorat Pembinaan PTK Dikdas dan 4 perguruan tinggi penyelenggara, yakni UNESA, UM, UNY, dan UPI.

Pemilihan program studi  berdasarkan ketentuan program Studi Dikdas dan PGSD diperuntukkan bagi  guru  SD. Program Studi Manajemen Pendidikan diperuntukkan bagi guru, kepala, dan pengawas SO.

Kriteria calon:
a) Guru, kepala, dan pengawas SD yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau guru tetap yayasan
b) Berusia maksimal 37 tahun per 1 September 2015 yang dibuktikan dengan fotocopy kartu tanda penduduk yang dilegalisasi oleh pejabat berwenang
c) Khusus untuk daerah  terpencil, tertinggal, dan terluar berusia maksimum 42 tahun per 1 September   2015 yang dibuktikan dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang dilegalisasi oleh pejabat berwenang,    serta SK pejabat berwenang tentang penetapan daerah terpencil, tertinggal  dan terluar
d) Lulusan jenjang sarjana (S-1) dari  program studi yang relevan dan terakreditasi oleh Badan Akreditasi  Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT)
e) IPK minimal 2,75 (dalam skala nilai  0-4) yang dibuktikan dengan fotokopi ijazah dan transkrip nilai yang dilegalisasi oleh pejabat  berwenang
f) Memiliki  pengalaman mengajar minimal 2 (dua) tahun yang dibuktikan dengan fotokopi SK pengangkatan pertama (ditambah dengan SK Daerah Khusus untuk PTK yang bertugas di daerah Khusus) yang  dilegalisasi oleh pejabat berwenang
g) Memperoleh izin untuk mengikuti program peningkatan kualifikasi jenjang strata dua (S-2), dibuktikan    dengan Surat Tugas belajar dari pejabat berwenang

Dokumen aplikasi:
a) Surat permohonan bantuan peningkatan kualifikasi S-2 (diketahui Atasan Langsung dan Dinas Pendidikan  Kabupaten/Kota) kepada Direktur Pembinaan PTK Dikdas;
b) Surat Pernyataan kesanggupan studi S-2 di Perguruan Tinggi Penyelenggara (UNESA, UM, UNY, dan  UPI)
c) Surat keterangan sehat dari dokter
d) Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK)
e) Pas poto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 4 lembar
f) Daftar riwayat hidup
g) Fotocopy ijazah yang telah dilegalisasi (dengan cap basah)
h) Fotocopy KTP
i) Fotocopy NPWP
j) Fotocopy SK pengangkatan pertama

Pendaftaran:
Pelamar yang berminat dapat mengirimkan berkas pendaftaran ke Direktorat Pembinaan PTK Dikdas   dengan melampirkan surat rekomendasi dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota setempat beserta dokumen aplikasi yang tertera di atas. Formulir yang dibutuhkan (identitas, permohonan, surat pernyataan) tertera di pedoman atau bisa kunjungi langsung laman P2TK Dikdas (p2tk.dikdas.kemdikbud.go.id).

Kirimkan berkas pendaftaran ke:

Subdit PTK SD Direktorat Pembinaan PTK Dikdas, 
Kompleks Kemdikbud Gedung C Lantai  18, Jalan Jenderal  Sudirman  Senayan Jakarta. 
Telp. Faks (021) 57853741,  57851921


Pada pojok kanan amplop pengajuan beasiswa tulis BEASISWA S-2
Berkas pendaftaran diterima panitia paling lambat 15 Juli 2015.

Seleksi meliputi seleksi administrasi dan seleksi akademik. Seleksi administratif terhadap berkas  pendaftaran calon peserta dari setiap provinsi/kabupaten/kota pada Juni sampai dengan minggu ketiga Juli 2015. Calon peserta yang lulus seleksi administratif akan diundang pada minggu pertama bulan Agustus 2015 oleh Direktorat Pembinaan PTK Dikdas Ditjen Dikdas Kemdikbud untuk mengikuti seleksi akademik.

Hasil seleksi akademik akan diumumkan oleh Direktorat Pembinaan PTK Dikdas Ditjen Dikdas Kemdikbud pada  minggu ketiga bulan Juli 2015, untuk selanjutnya disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan melalui dinas pendidikan  provinsi/kabupaten/kota.

Informasi langsung silakan download pedomannya di SINI

Mengulik Fenomena Nikah Siri Online

oleh Sefi Indra



Berbagai macam cara di tempuh seseorang demi melampiaskan hasrat seksualnya. Dalih dan alasan pun dikarang untuk meluluskan keinginan. Semakin modern zaman, makin canggih pula cara dan tekniknya. Awalnya adalah Pak Cahyo, teman di kantor, yang menggerutu.
“Jaman sudah makin gendeng. Masa nikah kok bisa online?”  ujarnya kesal.
Di kantor, Pak Cahyo ini dikenal sangat religus, banyak ngaji, banyak khotbah, dan ahli hukum agama. Kalau ada perkara agama yang tidak kami mengerti, tentu ramai-ramai mengadu padanya. Kali ini Bu Tuti yang bertanya perihal nikah siri online. Pasalnya, salah satu temannya yang entah dimana mengaku telah menikah siri secara online. Kini, teman Bu tuti, yang pasangan hasil nikah siri online itu, telah hidup berdua layaknya suami istri yang sah. Mendengar hal itu, raut wajah Pak Cahyo tampak berang.
“Sah karep gundulmu dewek,” umpatnya.
Cerita Bu Tuti memang bukan isapan jempol belaka. Soal ini muncul karena fenomena situs nikah siri online yang menjadi perbincangan publik belakangan ini kian marak beredar di Indonesia. Terhitung ada belasan situs yang aktif dan bisa diakses. Isinya bujuk rayu dengan  tampang bagai tokoh agama terkemuka, menjajakan jasa nikah siri dengan kemudahan. Melalui situsnya pula, para penjaja jasa nikah siri online menganggap bahwa pernikahan via dunia maya adalah sah. Hal yang terpenting adalah syarat mahar disediakan mempelai. Bila mempelai perempuan tidak disertai wali maka penyedia layanan itu menyiapkan wali hakim. Melalui jasa ini pelaku nikah siri online ini tak perlu bertemu langsung, cukup melalui telepon atau skype.
“Lho, bukankah nikah siri itu memang sah, Pak Cahyo?”
Beberapa teman jadi ikut bertanya-tanya. Pak Cahyo pun menggela nafas, menyadari bahwa perlu lebih sekadar sepatah kata untuk membuat masalah ini terang benderang.
“Secara Islam, nikah siri memang halal, selama seluruh syarat sah nikah telah terpenuhi seperti adanya penghulu, kedua pihak pengantin, ijab kabul, wali, dan minimal dua orang saksi. Akan tetapi, pelaksanaanya dilakukan tanpa catatan dan laporan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA). Oleh karena itu, secara administratif, nikah siri tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak dicatat negara. Akibatnya, ketika akan mengurus surat administrasi seperti kartu keluarga (KK), KTP, dan akte kelahiran akan dipersulit. Oleh sebab itu, sebagai warga negara yang baik sebaiknya kita melakukan penikahan secara sah menurut negara agar tidak ada salah satu pihak yang dirugikan,”  papar Pak Cahyo panjang lebar.
“Lha, bagaimana kalau nikah sirinya secara online, Pak Cahyo?”
Raut muka Pak Cahyo makin keruh. Ia malah balik bertanya.
“Kalau nikahnya online, maka hubungan suami istrinya juga tidak di ranjang, tapi online! Mau koe?” ujarnya ketus.
Emooh,” ucap kami serempak.
“Makanya, secara agama dan juga pendapat para ulama kehadiran calon mempelai, wali, dan saksi yang menjadi wajib hukumnya. Jadi, nikah siri yang dilakukan dan menjadi perbincangan baru-baru ini tidak sah hukumnya. Otomatis, pasangan yang menikah dengan cara tersebut dapat disebut berzina secara hukum agama. Titik!”
Pak Cahyo ini agak keras juga dengan hal-hal menurutnya yang menyimpang dari hukum agama. Selama ia memiliki dasar Al Quran dan Hadist juga pendapat Ulama, ia akan terang-terangan menentang. Termasuk fenomena nikah siri online ini. Terlebih, menurutnya pernikahan ialah suatu hal yang sakral, yaitu untuk membangun keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah. Tidak hanya menyangkut hubungan antara dua individu, tapi juga dua keluarga, dan terpenting merupakan perwujudan ibadah pada Sang Khalik. Oleh karenanya tidak bisa dipermainkan seperti itu.
Apalagi dari berbagai sumber diketahui bahwa para pelaku nikah siri online ini sebagian besar adalah para pria hidung belang yang memanfaatkan fenomena ini untuk keperluan penyaluran nafsu syahwatnya. Dengan menikah siri online, para pria hidung belang ini seakan berupaya melegalisasi praktik prostitusinya. Mencari pembenaran dengan alasan agar tidak terjerumus zina. Padahal, secara hukum agama, nikah online tidak sah dan sama dengan perzinahan.
Anehnya, banyak juga para pelaku nikah siri online ini adalah perempuan baik-baik. Mereka terbujuk rayu sesaat. Mungkin juga karena ketidakpahaman terhadap hukum agama, juga karena terdorong kebutuhan materi yang mendesak. Padahal, dalam praktik ini justru kaum perempuan yang banyak dirugikan. Mereka tidak memiliki bukti sah secara hukum sebagai istri, termasuk nanti keturunannya. Para pria hidung belang yang menjadi pelaku nikah online ini tidak akan bertanggung jawab secara penuh selamanya. Mereka akan mudah mengelak dan menghindar dari tanggung jawab. Setidaknya inilah umumnya risiko melakukan nikah siri. Mirip dengan prilaku nikah kontrak yang juga masih marak hingga kini.
Untungnya pihak pemerintah telah cukup bertindak. Terkait situs nikah siri online ini, Menkomifo telah berupaya mulai menutup situs yang beredar agar tak banyak menjerumuskan masyarakat. Para ulama melalui MUI pun telah memberikan banyak penjelasan perihal terlarangnya praktik nikah siri online ini. Kini persoalannya kembali pada kesadaran dan hati nurani masyarakat dalam menyikapi fenomena seperti ini. Apabila memang memiliki pemahaman dasar agama yang baik, akhlak, dan itikad baik, tentu tidak akan mudah terjerumus dengan bujuk rayu kesesatan.
Kewaspadaan kita kini perlu ditingkatkan, mengingat dengan semakin modern dan canggihnya zaman, maka bentuk-bentuk dosa kian mahir berkamuflase, menggoda, dan menyesatkan. Untunglah di sisi kami ada Pak Cahyo yang jadi tempat bernaung ketika kami membutuhkan sebuah jawaban yang menyangkut persoalan agama. Kalau tidak sudah tersesatlah kami ke dalam jurang dosa durjana. Pada akhirnya, kami hanya bisa menyesal dan beristigfar.    
“Terus bagaimana nasib teman Bu Tuti yang terlanjur nikah online?”
“Tobat! Kembali ke jalan yang benar, mohon ampunan Allah, dan jangan ulangi lagi!”
Tutupnya tegas sambil berlalu.

Kamis, 04 Juni 2015

Ancaman Beras Palsu


Oleh Sefi Indra

Beras adalah komoditi yang paling penting di Indonesia. Tentu saja, alasannya karena sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan beras sebagai bahan baku makanan pokoknya. Walaupun beberapa masyarakat wilayah tertentu mengkonsumsi sagu, jagung, dan ubi, namun sifatnya terbatas. Oleh karenanya, persoalan beras ini menjadi sangat sensitif. Ibarat perempuan jika sedang pramenstruasi (PMS), tersenggol sedikit saja langsung marah-marah. Demikian pula dengan beras, kalau suplai beras menghilang atau jika harganya meroket, maka menjeritlah semua orang. Kegaduhan pun dimana-mana. Apabila hal ini terjadi, maka turun tanganlah pemerintah. Para menteri dikerahkan, polisi turun tangan, badan pangan bergerak, dan para kepala daerah pun bertindak.

Lain halnya dengan plastik. Sekalipun keberadaannya yang cukup penting dalam kehidupan manusia, namun tak sedikit pun kita pernah meributkan masalah plastik. Apalagi sampai pemerintah turun tangan dengan blusukan di pasar-pasar. Padahal belum bisa dibayangkan seandainya produksi plastik berkurang atau harga plastik melambung tinggi. Kalau itu terjadi, tentunya kita akan repot juga, mengingat hampir semua barang-barang di rumah kita terbuat dari plastik. Pengeluaran kita akan barang-barang rumah tangga yang terbuat dari plastik pun akan semakin membengkak. Terlebih belum lama ini, kita telah cukup galau dengan kenaikan bbm, listrik, dan gas elpiji.

Sebenarnya beras dan plastik tidak memiliki hubungan apapun. Keduanya memiliki peruntukan yang berbeda. Beras berkaitan dengan kebutuhan perut, sementara plastik berhubugan dengan perkakas rumah. Lain hal bila keduanya dicampur, sebagaimana yang menjadi tren perbincangan saat ini. Istilah beras plastik pun bermunculan di mana-mana. Memang cukup mengkhawatirkan, mengingat sampai saat ini, kita belum pernah menemukan adanya manusia yang doyan memakan plastik. Seniman kuda lumping pun hanya pandai menelan rumput, tapi emoh mengkonsumsi plastik. Selain karena kandungannya berbahaya, tentu rasanya akan cukup liat sehingga sulit dicerna usus manusia.

Adalah salah seorang pedagang bubur yang pertama menemukan kejanggalannya. Ketika berasnya dimasak tampak agak lengket, menggumpal, dan aneh, maka cepat-cepatlah ia melaporkannya pada pihak berwenang. Setelah mendapat laporan dan hasil positif pengujian di laboratorium Sucofindo, pihak berwajib langsung memeriksa dan meminta keterangan berbagai pihak. Polisi pun mencoba mengembangkan dan menganalisa kasus ini agar bisa mengungkap akar masalahnya. Dengan itu, diharapkan peredaran beras yang terindikasi mengandung plastik terhenti. Jika sampai menyebar luas, tidak bisa dibayangkan berapa banyak orang yang menderita diracuni secara perlahan.

Beberapa waktu kemudian tampilah Presiden Jokowi bersuara, meminta masyarakat untuk tidak resah. Laboratorium Forensik Polri, Disperindag, dan Kementan telah ditunjuk melakukan uji sampel beras. Anehnya, hasil pengujian terkini menunjukan bahwa tidak ditemukan adanya kandungan plastik dalam sampel beras. Para pejabat terkait pun kini ramai-ramai meragukan keberadaan beras plastik dan meminta masyarakat untuk tidak gaduh. Bila demikian, lalu beras yang dilaporkan dan diuji di laboratorium Sucofindo itu beras yang mana dan jenis apa?

Bagaimana pun faktanya, ketika pertama mendengar adanya jenis beras plastik beredar, tentu membuat banyak pihak geleng-geleng kepala dan mengelus dada. Sekejam itu manusia demi meraih keuntungan hingga menghalalkan segala cara. Bukankah selama ini telah terlalu banyak kasus serupa di tanah air kita ini. Ada daging glonggong, ayam tiren, mie instan kadaluarsa, teh kemasan palsu, telur asin palsu, baso babi, sosis palsu, kerang berpewarna, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, hadirnya beras plastik bukanlah sesuatu yang mustahil. Ancaman ini membuat hidup kita semakin tidak nyaman. Setiap hal bisa mengancam kesehatan, membunuh secara perlahan dengan konsumsi makanan beracun.

Mengingat hal ini, kita sebagai masyarakat harus berpegang pada apa dan siapa? Pihak pemerintah pun seringkali kalang kabut dengan munculnya cara dan trik baru berbagai jenis makanan berbahaya di masyarakat. Kita selalu tak pernah bisa mencegah, hanya mampu bertindak setelah masalah meluap dan timbul korban yang dirugikan. Kreativitas dan inovasi produsen makanan berbahaya pun selalu bermunculan. Didorong kebutuhan yang semakin meningkat sementara penghasilan dari jalan halal yang semakin menyempit. Ditambah dengan bisikan dosa yang menggoda untuk meraih untung dengan cara cepat dan jalan yang sesat.

Kini, tinggalah kita sendiri yang perlu membentengi diri. Selalu bersikap waspada dengan segala bentuk makanan yang ada. Jangan mudah tergoda dengan rayuan dan kenikmatan tampilan semata. Cermat dan teliti dalam menentukan pilihan hidangan dan santapan. Hati-hati dan seksama memilih sajian. Sebarkan kesadaran ini pada orang-orang sekitar dan terdekat yang kita cintai. Laporkan apabila menemukan suatu kejanggalan atau hal-hal yang di luar kewajaran. Setidaknya, kita bisa berupaya menjelma badan pengawas makan untuk diri kita sendiri atau untuk orang-orang sekitar dan terdekat yang kita cintai.

Di tengah banyak kasus makan berbahaya yang beredar di nusantara, maka wajarlah jika kini masyarakat kian paranoid. Untuk meminimalisir hal tersebut, tanggung jawab dan kewenangan penuh sesungguhnya kembali terletak pada pemerintah melalui badan atau lembaga pengawas dan pengendali bahan makanan. Hal ini berkaitan dengan perlindungan warga negara akan hal-hal yang mengancam keselamatan hidupnya. Karena itu, pemerintah dinilai perlu meningkatkan kewaspadaannya dengan melakukan berbagai program antisipasi. Adanya program sosialisasi berkaitan dengan langkah-langkah mengidentifikasi makanan yang sehat atau berbahaya perlu dilakukan demi meningkatkan kesadaran masyarakat akan makanan berbahaya. Selain itu, tindakan pengawasan dan pemeriksaan produk dan produsen makanan harus terus ditingkatkan. Baik formal, maupun informal. Mulai kelas kakap, hingga kaki lima. Dari kota besar, hingga pelosok desa. Berikan pula efek jera berupa hukuman berat bagi produsen makanan berbahaya, mengingat dampaknya yang mengancam hidup banyak manusia. Dengan demikian, semoga di masa yang akan datang tidak ada lagi kasus serupa.

Sabtu, 30 Mei 2015

Menyoal Buku Saatnya Aku Belajar Pacaran



Oleh Sefi Indra Gumilar

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2008 pernah merilis hasil survei yang menunjukan bahwa sebanyak 62,7 persen remaja usia sekolah di Indonesia pernah berhubungan seks pranikah. Hal ini tentu saja menjadi kekhawatiran berbagai pihak. Bukankah selama ini, masyarakat telah cukup miris dengan realita banyaknya rekaman video amatir seks remaja, meningkatnya angka aborsi, sampai pada bayi-bayi hasil hubungan pranikah yang ditemukan di selokan? Oleh sebab itu, terbitnya buku berjudul Saatnya Aku Belajar Pacaran yang isinya dianggap telah menyebarkan paham seks bebas untuk remaja langsung menuai kecaman di masyarakat.

Buku yang diterbitkan oleh Brilian dan ditulis Toge Aprilianto ini menyebut ajakan berhubungan seksual menjadi salah satu hal penting dalam berpacaran. Ia juga mengatakan bahwa hal yang wajar jika pacar mengajak untuk berhubungan seks. Lebih menyesatkan lagi, si penulis menggiring pembaca agar menuruti ajakan berhubungan seks tersebut, asalkan baik si pembaca dan pacarnya sama-sama siap untuk melakukannya, terlepas dari ada atau tidaknya ikatan pernikahan yang sah.

Hal ini menimbulkan banyak kecaman dari berbagai pihak. Beberapa tuntutan agar buku tersebut ditarik dari peredaran, pemusnahan, hingga tututan agar penulis dan penerbit bertanggung jawab pun digulirkan. Lebih lanjut, KPAI pun telah bertindak dengan melaporkan Toge Aprilianto pada pihak berwenang dengan tiga undang-undang sekaligus, yaitu pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penghasutan, pasal 27 juncto pasal 51 dan 52 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Undang-Undang Pornografi.

Uniknya, sekalipun buku ini sendiri telah terbit sejak Februari 2010, namun mengapa baru dipersoalkan sekarang setelah salah seorang mengutip sebagian isinya di media sosial. Bukankah telah sekitar empat tahun buku itu beredar dan dikonsumsi masyarakat? Melalui media sosial pula, pada Rabu (4/2/2015), Toge Aprilianto sendiri telah menyampaikan permintaan maafnya secara terbuka. Bahkan ia berjanji menghentikan distibusi buku tersebut dan bersedia mengembalikan uang pembelian bukunya jika diminta. Setidaknya Toge beritikad baik mengakui dan bertanggungjawab terhadap kelalaian yang telah dilakukannya.

Akan tetapi, tentu saja penyelesaiannya tidak sesederhana itu. Persoalan meminta maaf, penghentian distribusi buku, dan pengembalian uang memang relatif mudah dilakukan. Tentu saja masalah peliknya ialah bagaimana merehabilitasi rusaknya nilai dan moral remaja yang terlanjur membaca dan meyakini paham isi buku tersebut. Terlebih kabarnya buku karya Toge ini telah naik cetak ulang untuk yang kedua kalinya pada tahun 2014. Tidak dapat dibayangkan berapa banyak remaja yang telah teracuni dengan pernyataan-pernyataan yang terdapat di dalamnya. Sebagai contoh, seorang remaja setelah membaca buku ini lalu meyakini dan mempraktikannya. Belum lagi jika pemahaman yang keliru tersebut disebarluaskan pada rekan-rekan lainnya. Pantaslah jika hasil survey KPAI yang menyebut sebanyak 62,7 persen remaja usia sekolah pernah berhubungan seks pranikah bukan isapan jempol belaka. Hadirnya buku ini seakan menjadi pelengkap beberapa faktor meningkatnya degradasi moral remaja, selain maraknya pornografi.

Oleh sebab itu, masalah ini tentu layak menjadi perhatian seluruh masyarakat. Beberapa hal bisa kita upayakan dalam menyikapi persoalan ini. Pertama, kehati-hatian pembaca remaja. Sebagai pembaca, para remaja harus lebih selektif memilih bahan bacaan. Tidak semua buku yang beredar itu selalu baik dan mendidik untuk dibaca, sekalipun dinilai menarik dari segi judul atau covernya. Jangan mudah memercayai paham atau isi buku tertentu. Terlebih bila paham atau isi buku tersebut menyimpang dari nilai moral yang belaku di masyarakat.

Kedua, peran serta orangtua. Pihak orang tua perlu meningkatkan kepedulian dan kewaspadaan dalam bacaan yang dikonsumsi anak. Bila perlu, orang tua menjadi teman diskusi atau ikut dalam menentukan bahan bacaan atau buku yang dipilih anak. Orangtua bisa menyediakan buku-buku yang lebih mendidik dan bermanfaat bagi anak demi tumbuh kembang pribadi dan mental anak. Selain itu, orangtua pun dituntut perlu memberikan menjelasan, bimbingan, dan tuntunan pada anak dalam memahami setiap buku yang dibacanya.

Ketiga, penerbit lebih selektif. Dalam kasus ini, tentu saja banyak pihak yang menyesalkan mengapa pihak penerbit memutuskan tetap menerbitkan buku Toge sekalipun isinya menyimpang dari nilai dan norma di masyarakat. Artinya, sensitivitas dan itikad baik penerbit dalam menerbitkan buku yang mendidik masyarakat diragukan. Semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi penerbit lainnya di kemudian hari.

Keempat, mengupayakan adanya UU Sistem Perbukuan. Kemunculan buku semacam ini mungkin saja bukan yang pertama atau terakhir kalinya. Oleh karena itu, perlu adanya landasan hukum bagi pemerintah dalam mengantisipasi content buku yang dapat merusak moral dan nilai luhur bangsa. Upaya ini setidaknya menjadi bukti perhatian pemerintah terhadap kondisi perbukuan nasional.

Kelima, kepekaan penulis terhadap nilai dan norma masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kode etik penulis dalam mengemukakan gagasan dan idenya. Di era kebebasan berekspresi ini, sekalipun seakan tidak ada lagi batasan dan kekangan dalam mengemukakan pendapat dan pemikiran, namun nilai-nilai luhur dan norma seyogyanya tetap menjadi landasan berpikir kita agar tetap jernih dan bersih.

Keenam, adanya gerakan anti seks pranikah yang masif. Seluruh pihak, baik pihak orang tua, ulama, guru, pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat secara aktif kreatif dapat bersatu padu mengupayakan gerakan anti seks pranikah pada remaja. Persoalan seks pranikah telah cukup kompleks sehingga perlu upaya bersama dan terus menerus untuk mengatasinya. Pembinaan anti seks pranikah untuk remaja dalam konteks keluarga, pendidikan, agama, dan lingkungan menjadi aspek terpenting.
Dengan berbagai sikap tersebut, diharapkan persoalan meningkatnya aktivitas seks pranikah pada remaja dapat kita minimalisasi dan semoga dampak negatif buku Saatnya Aku Belajar Pacaran karya Toge Aprilianto pun tidak seburuk yang kita khawatirkan. Hal ini semata-mata demi nilai dan moral generasi penerus yang lebih baik. Tentu kita banyak berharap agar masa depan remaja kita bisa secerah langit biru. Tidak muram laksana awan mendung saat akan tiba hujan.