Oleh Sefi Indra
Gumilar
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2008 pernah merilis
hasil survei yang menunjukan bahwa sebanyak 62,7 persen remaja usia sekolah di
Indonesia pernah berhubungan seks pranikah. Hal ini tentu saja menjadi kekhawatiran
berbagai pihak. Bukankah selama
ini, masyarakat telah cukup miris dengan realita banyaknya rekaman video amatir
seks remaja, meningkatnya angka aborsi, sampai pada bayi-bayi hasil hubungan
pranikah yang ditemukan di selokan? Oleh sebab itu,
terbitnya buku berjudul Saatnya Aku Belajar Pacaran yang isinya
dianggap telah menyebarkan paham seks bebas untuk remaja langsung menuai
kecaman di masyarakat.
Buku yang
diterbitkan oleh Brilian dan ditulis
Toge Aprilianto ini menyebut ajakan berhubungan seksual menjadi salah satu hal
penting dalam berpacaran. Ia juga mengatakan bahwa hal yang wajar jika pacar
mengajak untuk berhubungan seks. Lebih menyesatkan
lagi, si penulis menggiring pembaca agar menuruti ajakan berhubungan seks
tersebut, asalkan baik si pembaca dan pacarnya sama-sama siap
untuk melakukannya, terlepas dari ada atau tidaknya ikatan pernikahan yang sah.
Hal ini menimbulkan banyak kecaman dari berbagai pihak. Beberapa
tuntutan agar buku tersebut ditarik dari peredaran, pemusnahan, hingga tututan agar penulis dan penerbit bertanggung jawab pun digulirkan. Lebih lanjut, KPAI pun telah bertindak
dengan melaporkan Toge Aprilianto pada pihak berwenang dengan tiga undang-undang
sekaligus, yaitu pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang
penghasutan, pasal 27 juncto pasal 51 dan 52 Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik, serta Undang-Undang Pornografi.
Uniknya, sekalipun buku ini sendiri telah terbit sejak Februari 2010, namun
mengapa baru dipersoalkan sekarang setelah salah seorang mengutip sebagian
isinya di media sosial. Bukankah telah sekitar empat tahun buku itu beredar dan
dikonsumsi masyarakat? Melalui media sosial pula, pada Rabu (4/2/2015), Toge Aprilianto sendiri telah
menyampaikan permintaan maafnya secara terbuka. Bahkan ia berjanji menghentikan
distibusi buku tersebut dan bersedia mengembalikan uang pembelian bukunya jika diminta.
Setidaknya Toge beritikad baik mengakui dan bertanggungjawab terhadap kelalaian
yang telah dilakukannya.
Akan tetapi, tentu
saja penyelesaiannya tidak sesederhana itu. Persoalan meminta maaf, penghentian
distribusi buku, dan pengembalian uang memang relatif mudah dilakukan. Tentu
saja masalah peliknya ialah bagaimana merehabilitasi rusaknya nilai dan moral
remaja yang terlanjur membaca dan meyakini paham isi buku tersebut. Terlebih
kabarnya buku karya Toge ini telah naik cetak ulang untuk yang kedua kalinya
pada tahun 2014. Tidak dapat dibayangkan berapa banyak remaja yang telah
teracuni dengan pernyataan-pernyataan yang terdapat di dalamnya. Sebagai
contoh, seorang remaja setelah membaca buku ini lalu meyakini dan
mempraktikannya. Belum lagi jika pemahaman yang keliru tersebut disebarluaskan
pada rekan-rekan lainnya. Pantaslah jika hasil survey KPAI yang menyebut
sebanyak 62,7 persen remaja usia sekolah pernah berhubungan seks pranikah bukan
isapan jempol belaka. Hadirnya buku ini seakan menjadi pelengkap beberapa
faktor meningkatnya degradasi moral remaja, selain maraknya pornografi.
Oleh sebab itu, masalah
ini tentu layak menjadi perhatian seluruh masyarakat. Beberapa hal bisa kita
upayakan dalam menyikapi persoalan ini. Pertama, kehati-hatian pembaca remaja.
Sebagai pembaca, para remaja harus lebih selektif memilih bahan bacaan. Tidak
semua buku yang beredar itu selalu baik dan mendidik untuk dibaca, sekalipun
dinilai menarik dari segi judul atau covernya. Jangan mudah memercayai paham
atau isi buku tertentu. Terlebih bila paham atau isi buku tersebut menyimpang
dari nilai moral yang belaku
di masyarakat.
Kedua, peran serta orangtua. Pihak orang tua perlu meningkatkan kepedulian
dan kewaspadaan dalam bacaan yang dikonsumsi anak. Bila perlu, orang tua menjadi
teman diskusi atau ikut dalam menentukan bahan bacaan atau buku yang dipilih
anak. Orangtua bisa menyediakan buku-buku yang lebih mendidik dan bermanfaat
bagi anak demi tumbuh kembang pribadi dan mental anak. Selain itu,
orangtua pun dituntut perlu memberikan menjelasan, bimbingan, dan tuntunan pada
anak dalam memahami setiap buku yang dibacanya.
Ketiga, penerbit lebih selektif. Dalam kasus ini, tentu saja banyak pihak
yang menyesalkan mengapa pihak penerbit memutuskan tetap menerbitkan buku Toge
sekalipun isinya menyimpang dari nilai dan norma di masyarakat. Artinya,
sensitivitas dan itikad baik penerbit dalam menerbitkan buku yang mendidik
masyarakat diragukan. Semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi penerbit
lainnya di kemudian hari.
Keempat, mengupayakan adanya UU Sistem Perbukuan. Kemunculan buku
semacam ini mungkin saja bukan yang
pertama atau terakhir kalinya. Oleh karena itu, perlu adanya landasan hukum
bagi pemerintah dalam mengantisipasi content
buku yang dapat merusak moral dan nilai luhur bangsa. Upaya ini setidaknya
menjadi bukti perhatian pemerintah terhadap kondisi perbukuan nasional.
Kelima, kepekaan penulis terhadap nilai dan norma masyarakat. Hal ini
berkaitan dengan kode etik penulis dalam mengemukakan gagasan dan idenya. Di
era kebebasan berekspresi ini, sekalipun seakan tidak ada lagi batasan dan
kekangan dalam mengemukakan pendapat dan pemikiran, namun nilai-nilai luhur dan
norma seyogyanya tetap menjadi landasan berpikir kita agar tetap jernih dan
bersih.
Keenam, adanya gerakan anti seks pranikah yang masif. Seluruh pihak, baik
pihak orang tua, ulama, guru, pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat secara
aktif kreatif dapat bersatu padu mengupayakan gerakan anti seks pranikah pada
remaja. Persoalan seks pranikah telah cukup kompleks sehingga perlu upaya
bersama dan terus menerus untuk mengatasinya. Pembinaan anti seks pranikah untuk remaja dalam
konteks keluarga, pendidikan, agama, dan lingkungan menjadi aspek terpenting.
Dengan
berbagai sikap tersebut, diharapkan persoalan meningkatnya aktivitas seks
pranikah pada remaja dapat kita minimalisasi dan semoga dampak negatif
buku Saatnya Aku
Belajar Pacaran karya Toge Aprilianto pun tidak seburuk yang kita khawatirkan. Hal
ini semata-mata demi nilai dan moral generasi penerus yang lebih baik. Tentu kita banyak berharap agar masa depan remaja kita
bisa secerah langit biru. Tidak muram laksana awan mendung saat akan tiba
hujan.