Kamis, 28 Mei 2015

Menyibak Tren Batu Akik

Oleh Sefi Indra


Bila dulu batu akik hanya identik dengan pelawak Tessy atau pelaku perdukunan, kini derajatnya naik pangkat. Tidak hanya pengusaha, pejabat, artis, bahkan presiden pun kini tergoda memakai batu akik. Konsumennya meluas dari mulai orang tua, dewasa, anak muda, hingga ibu-ibu di dapur. Akibatnya, batu akik kini telah menjadi tren yang mendera seluruh nusantara. Hampir setiap tempat di Indonesia dari kota hingga pelosok desa terjangkit demam batu akik. Dalihnya beragam, dari sekadar mengagumi keindahannya, untuk menambah percaya diri, memberikan khasiat tertentu, hingga alasan mistis yang irasional. Akibat tren batu akik ini, permintaan akan batu akik melonjak, harganya pun terdongkrak.

Harga batu akik yang melambung tinggi seakan menjadi berkah bagi sebagian orang. Banyak yang secara tiba-tiba beralih profesi, meninggalkan bisnis lama, mulai bermain di bisnis batu akik. Penambang bahan batu akik kini bermunculan, penggosok batu akik bertebaran, hingga penjaja batu akik pun berserakan di setiap penjuru. Berharap mendapat keuntungan berkali lipat dari tren yang sedang menanjak. Minat yang tinggi membuat perdagangan batu akik tak pernah sepi pembeli. Tak bisa dibantah, beberapa orang kini mulai terdongkrak ekonominya karena bisnis batu akik.
Akibat harganya yang tak murah lagi, pelaku kejahatan pun kini punya motif baru, menjadikan batu akik sebagai sasaran. Sebagai contoh, di Sukabumi, empat pemuda melakukan penodongan demi batu akik. Lain pula di Mojokerto, salah satu warga tertipu hingga puluhan juta rupiah karena batu akik palsu. Bahkan, Polres Bukittinggi setidaknya telah menangani tiga kasus terkait batu akik. Ada pula di Way Kanan Lampung, bongkahan batu akik mentah seberat 15 kilo digasak pencuri. Di Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, tiga anak masih SD tertangkap tangan mencuri batu akik di sebuah rumah warga. Belum lagi, maraknya kasus penjualan batu akik palsu secara online. Hal ini setidaknya cukup membuat pihak berwenang yakin bahwa pola kejahatan pun ternyata mengikuti prinsip tren aktual masyarakat.
Pihak pemerintahan ikut menyoal tren baru ini. Bahkan ada wacana menjadikan batu akik sebagai sumber pajak baru. Beberapa menteri bahkan terang-terangan memakai dan mendukung pasar potensial batu akik. Anggota DPR pun mulai banyak yang mengaku ikut memborong dan mengoleksi batu akik. Tidak ketinggalan, Pemda Wonogiri dan Purbalingga kini mengeluarkan aturan khusus tentang PNS yang wajib menggunakan batu akik khas daerahnya. Akibat tren batu akik pula, Pemda Rokan Hulu, Riau berencana menggagas Perda tentang batu akik. Ditambah lagi rusaknya lingkungan karena penambangan batu akik yang membuat beberapa Pemda berencana menyusun Perda khusus tentang batu akik. Demikianlah, batu akik kini berhasil mencuri perhatian banyak pihak, dari masyarakat kecil hingga pejabat tinggi, dari rumah tangga hingga perwakilan rakyat.
Memandang tren batu akik yang demikian masif ini, sebagai masyarakat yang bijak kita perlu bersikap arif. Ada beberapa hal yang bisa kita upayakan. Pertama, kita harus memandang tren batu akik hanya sebagai fenomena sesaat.  Ketertarikan masyarakat terhadap satu hal tertentu pada suatu waktu tertentu merupakan hal biasa. Hal semacam ini mengingatkan kita ketika masa-masa ikan Arwana, ikan Laohan, tanaman Aglonema, dan tanaman Anturium yang beberapa tahun lalu cukup populer. Akan tetapi, popularitas tak akan abadi, terlebih untuk hal semacam ini. Lambat laun, setelah mencapai puncaknya, tren semacam itu akan mengalami titik jenuh dan menjadi antiklimaks. Akhirnya, tren pun menghilang dan harganya menurun, membuat banyak pihak kecewa.
Kedua, sebagai masyarakat kita perlu memiliki paradigma berpikir yang sehat. Sehat dalam konteks kewajaran dalam berpikir, bertindak, berbuat. Dalam hal ini, kita perlu memandang nilai dan harga sebuah benda berdasar pada kegunaan dan kebermanfaatannya untuk kehidupan kita. Karena itu, membeli sebutir batu akik seharga ratusan juta tanpa jelas kegunaan dan manfaatnya sungguh menunjukan cara berpikir yang kurang sehat. Terlebih di tengah kondisi dan situasi mayoritas masyarakat yang tercekik akibat kenaikan harga bbm, listrik, dan elpiji. Tentu ada skala prioritas lain bagi kebutuhan hidup lain yang lebih bermakna atau lebih mulia berderma bagi sesama yang menderita.   
Ketiga, kita harus memiliki prinsip hidup yang jelas dan tidak mudah berprilaku latah. Latah dalam konteks prilaku tanpa sadar terjebak dalam tren dan popularitas, yaitu suka meniru dan mengikuti prilaku terkini yang dilakukan kumpulan banyak orang. Hal semacam ini dalam psikologi finansial seringkali disebut keriuhan irasional (irrational exuberance), yaitu banyaknya orang yang berduyun-duyun membeli sesuatu karena dorongan emosional yang alasannya bahkan terkadang tidak masuk akal. Karenanya, memburu atau mengoleksi batu akik semata-mata karena tren merupakan prilaku yang kurang bijak. Apalagi bersikap syirik dengan memercayai bahwa benda mati semacam batu akik memiliki khasiat atau daya magis yang luar biasa.
Keempat, jangan sampai kita terjebak prilaku konsumtif. Sesungguhnya bukan masalah bila kita sebagai masyarakat ikut dalam sebuah tren tertentu selama tahu batas diri dan kewajaran. Menyenangi suatu hal yang benilai estetis adalah sifat dasar manusia. Karenanya, memiliki atau memakai satu atau dua batu akik selama tidak berlebihan, tentu tidak menjadi masalah. Namun jangan sampai terjerat prilaku konsumtif yang mengoleksi batu akik sekian puluh butir dengan harga yang fantastis. Bila demikian tentu kita telah terjebak tren yang irasional. Bukanlah telah cukup banyak orang yang mengidap penyakit shopaholic. Karenanya, jangan sampai kita mengidap penyakit baru bernama akik holic. 
Demikianlah, sebagai masyarakat yang arif, penting kiranya kita memiliki prinsip dan sikap bijak dalam memandang tren batu akik yang tengah populer di masyarakat. Jangan sampai menjadi seperti kerbau yang dicocok hidung, dimana kita hanya menjadi pengikut dari sekumpulan orang tanpa tahu alasannya. Terlebih tren semacam ini hanya sesaat dan tidak bertahan lama. Akan lebih baik bila kita mengikuti tren yang baik-baik saja, misalnya tren ibadah atau tren donor darah. Toh, jauh lebih mulia, dapat pahala, dan lebih sehat, bukan?
Nah, mumpung trennya masih ada kapan Anda belanja batu akik lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar