Bila dulu batu akik hanya identik dengan pelawak Tessy atau pelaku
perdukunan, kini derajatnya naik pangkat. Tidak hanya pengusaha, pejabat,
artis, bahkan presiden pun kini tergoda memakai batu akik. Konsumennya meluas
dari mulai orang tua, dewasa, anak muda, hingga ibu-ibu di dapur. Akibatnya, batu
akik kini telah menjadi tren yang mendera seluruh nusantara. Hampir setiap
tempat di Indonesia dari kota hingga pelosok desa terjangkit demam batu akik. Dalihnya
beragam, dari sekadar mengagumi keindahannya, untuk menambah percaya diri,
memberikan khasiat tertentu, hingga alasan mistis yang irasional. Akibat tren
batu akik ini, permintaan akan batu akik melonjak, harganya pun terdongkrak.
Harga batu akik yang melambung tinggi seakan menjadi berkah bagi sebagian
orang. Banyak yang secara tiba-tiba beralih profesi, meninggalkan bisnis lama,
mulai bermain di bisnis batu akik. Penambang bahan batu akik kini bermunculan,
penggosok batu akik bertebaran, hingga penjaja batu akik pun berserakan di
setiap penjuru. Berharap mendapat keuntungan berkali lipat dari tren yang
sedang menanjak. Minat yang tinggi membuat perdagangan batu akik tak pernah
sepi pembeli. Tak bisa dibantah, beberapa orang kini mulai terdongkrak
ekonominya karena bisnis batu akik.
Akibat harganya yang tak murah lagi, pelaku kejahatan pun kini punya motif
baru, menjadikan batu akik sebagai sasaran. Sebagai contoh, di Sukabumi, empat
pemuda melakukan penodongan demi batu akik. Lain pula di Mojokerto, salah satu
warga tertipu hingga puluhan juta rupiah karena batu akik palsu. Bahkan, Polres
Bukittinggi setidaknya telah menangani tiga kasus terkait batu akik. Ada pula
di Way Kanan Lampung, bongkahan batu akik mentah seberat 15 kilo digasak
pencuri. Di Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, tiga anak masih SD tertangkap
tangan mencuri batu akik di sebuah rumah warga. Belum lagi, maraknya kasus
penjualan batu akik palsu secara online. Hal ini setidaknya cukup membuat pihak
berwenang yakin bahwa pola kejahatan pun ternyata mengikuti prinsip tren aktual
masyarakat.
Pihak pemerintahan ikut menyoal tren baru ini. Bahkan ada wacana menjadikan
batu akik sebagai sumber pajak baru. Beberapa menteri bahkan terang-terangan memakai
dan mendukung pasar potensial batu akik. Anggota DPR pun mulai banyak yang
mengaku ikut memborong dan mengoleksi batu akik. Tidak ketinggalan, Pemda
Wonogiri dan Purbalingga kini mengeluarkan aturan khusus tentang PNS yang wajib
menggunakan batu akik khas daerahnya. Akibat tren batu akik pula, Pemda Rokan
Hulu, Riau berencana menggagas Perda tentang batu akik. Ditambah lagi rusaknya
lingkungan karena penambangan batu akik yang membuat beberapa Pemda berencana
menyusun Perda khusus tentang batu akik. Demikianlah, batu akik kini berhasil
mencuri perhatian banyak pihak, dari masyarakat kecil hingga pejabat tinggi,
dari rumah tangga hingga perwakilan rakyat.
Memandang tren batu akik yang demikian masif ini, sebagai masyarakat yang
bijak kita perlu bersikap arif. Ada beberapa hal yang bisa kita upayakan.
Pertama, kita harus memandang tren batu akik hanya sebagai fenomena
sesaat. Ketertarikan masyarakat terhadap
satu hal tertentu pada suatu waktu tertentu merupakan hal biasa. Hal semacam
ini mengingatkan kita ketika masa-masa ikan Arwana, ikan Laohan, tanaman
Aglonema, dan tanaman Anturium yang beberapa tahun lalu cukup populer. Akan
tetapi, popularitas tak akan abadi, terlebih untuk hal semacam ini. Lambat
laun, setelah mencapai puncaknya, tren semacam itu akan mengalami titik jenuh
dan menjadi antiklimaks. Akhirnya, tren pun menghilang dan harganya menurun,
membuat banyak pihak kecewa.
Kedua, sebagai masyarakat kita perlu memiliki paradigma berpikir yang sehat.
Sehat dalam konteks kewajaran dalam berpikir, bertindak, berbuat. Dalam hal
ini, kita perlu memandang nilai dan harga sebuah benda berdasar pada kegunaan
dan kebermanfaatannya untuk kehidupan kita. Karena itu, membeli sebutir batu
akik seharga ratusan juta tanpa jelas kegunaan dan manfaatnya sungguh
menunjukan cara berpikir yang kurang sehat. Terlebih di tengah kondisi dan
situasi mayoritas masyarakat yang tercekik akibat kenaikan harga bbm, listrik,
dan elpiji. Tentu ada skala prioritas lain bagi kebutuhan hidup lain yang lebih
bermakna atau lebih mulia berderma bagi sesama yang menderita.
Ketiga, kita harus memiliki prinsip hidup yang jelas dan tidak mudah berprilaku
latah. Latah dalam konteks prilaku tanpa sadar terjebak dalam tren dan
popularitas, yaitu suka meniru dan mengikuti prilaku terkini yang dilakukan kumpulan
banyak orang. Hal semacam ini dalam psikologi finansial seringkali disebut
keriuhan irasional (irrational exuberance),
yaitu banyaknya orang yang berduyun-duyun membeli sesuatu karena dorongan
emosional yang alasannya bahkan terkadang tidak masuk akal. Karenanya, memburu
atau mengoleksi batu akik semata-mata karena tren merupakan prilaku yang kurang
bijak. Apalagi bersikap syirik dengan memercayai bahwa benda mati semacam batu
akik memiliki khasiat atau daya magis yang luar biasa.
Keempat, jangan
sampai kita terjebak prilaku konsumtif. Sesungguhnya bukan masalah bila kita
sebagai masyarakat ikut dalam sebuah tren tertentu selama tahu batas diri dan
kewajaran. Menyenangi suatu hal yang benilai estetis adalah sifat dasar
manusia. Karenanya, memiliki atau memakai satu atau dua batu akik selama tidak
berlebihan, tentu tidak menjadi masalah. Namun jangan sampai terjerat prilaku
konsumtif yang mengoleksi batu akik sekian puluh butir dengan harga yang
fantastis. Bila demikian tentu kita telah terjebak tren yang irasional. Bukanlah
telah cukup banyak orang yang mengidap penyakit shopaholic. Karenanya, jangan sampai kita mengidap penyakit baru
bernama akik holic.

Nah, mumpung
trennya masih ada kapan Anda belanja batu akik lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar